Русские видео

Сейчас в тренде

Иностранные видео


Скачать с ютуб Mengapa Mecaru в хорошем качестве

Mengapa Mecaru 1 год назад


Если кнопки скачивания не загрузились НАЖМИТЕ ЗДЕСЬ или обновите страницу
Если возникают проблемы со скачиванием, пожалуйста напишите в поддержку по адресу внизу страницы.
Спасибо за использование сервиса savevideohd.ru



Mengapa Mecaru

   • Mengapa Mecaru   Mengapa Mecaru #MecaruItuYadnya #MecaruTermasukButhaYadnya #JenisJenisMecaru Dalam butha yadnya dikenal kata mecaru, sebagai aktivitas yadnya untuk nyomia para butha. Dalam tradisi setempat, ditemukan pelaksanaan caru senantiasa menggunakan darah. Beberapa sumber tekstual yang telah sampai kepada kita, memuat informasi caru darah. Darah yang digunakan sebagai caru, tidak hanya darah binatang, tetapi juga darah manusia. Tidak saja darahnya, tetapi juga tubuhnya. Beberapa sumber tekstual yang memuat caru darah binatang dan manusia, akan kita bicarakan kali ini, sebagaimana ditunjukkan pula oleh Hariati Santiko. Dua teks Buddhis, kakawin Arjuna Wijaya dan Sutasoma akan kita rujuk untuk keperluan itu. Di dalam Arjuna Wijaya, konon Rahwana yang memiliki sepuluh kepala, menjalani tapa selama sepuluh ribu tahun. Selama bertapa, Rahwana yang berumur panjang itu, memotong salah satu kepalanya setiap seribu tahun. Persembahan kepala inilah yang disebut caru. Kepala yang dipotong itu dipersembahkan kepada Siwagni yang menyala-nyala dalam kunda. Saat Rahwana akan memotong kepalanya yang terakhir, yakni kepala kesepuluh pada tahun kesepuluh ribu, ia dicegah oleh Dewa. Di Bali, baligia marebu bhumi adalah upacara caru yang dilakukan tiap seribu tahun sekali di Besakih. Perhitungan tahun yang digunakan adalah tahun Saka. Itu artinya, tiap ada tiga angka nol dalam tahun Saka, baligia akan digelar. Saya tidak ingin mengaitkan caru kepala yang dilakukan oleh Rahwana dengan baligia. Namun setidaknya kita memiliki catatan bahwa rangkaian upacara seributahunan dicatat dalam teks bernuansa Buddhis. Arjuna Wijaya juga mencatat mengenai ajaran bahwa perang adalah caru. Tubuh para pemberani yang gugur adalah kayu bakarnya. Sedangkan darah yang mengalir seperti lautan adalah minyaknya. Dengan kata lain, perang dianggap sebagai upacara. Orang yang melakukan upacara adalah raja, yang disajikan dalam upacara adalah para prajurit. Para pendeta yang turut hadir, sebagai pemimpin upacara. Barangkali, ini pula maksud Mpu Kanwa dengan manghiringi haji [mengiringi Raja] saat angharep samarakarya [menghadapi perang]. Dengan menganggap perang sebagai upacara, orang diperbolehkan membunuh dan dibunuh. Atas nama persembahan, kehidupan boleh dikorbankan [?]. Upacara caru yang menggunakan manusia sebagai korban, juga disebutkan dalam kakawin Sutasoma. Caru itu dipersembahkan kepada Bhatara Kala. Tidak tanggung-tanggung, banyaknya korban ada seratus. Keseratusnya berstatus sebagai raja. Seratus raja itu boleh diganti dengan satu raja yang memiliki klasifikasi seperti Sutasoma. Meski dalam catatan susastra hal ini ada, kini ritual sejenis ini tidak pernah kita ketahui ada. Bahkan, barangkali tidak mungkin akan ada. Selain karena alasan kemanusiaan, tentu sulit menemukan seorang raja yang seideal Sutasoma. Itulah dua teks yang menyebutkan upacara caru darah. Belakangan, ritual-ritual caru bisa kita temui dalam sumber-sumber lontar seperti lontar Salwiring Caru. Lontar ini, salah satunya, dikoleksi oleh Griya Toko yang terletak di Intaran, Sanur. Di dalamnya dimuat beberapa caru yang juga melibatkan darah dan daging binatang. Binatang yang telah disembelih, lalu diolah menjadi tandingan yang disesuaikan dengan urip. Contohnya, daging angsa winangun urip diletakkan di Timur dan diolah menjadi lima puluh lima olahan. Winangun urip terjemahan harfiahnya adalah dibangun hidup. Angsa yang telah disembelih itu lalu ‘dibangun hidup’ lagi dengan meletakkan bayang-bayang [kulitnya yang utuh] secara tertelungkup. Lalu dilengkapi dengan olahan, yang biasanya berupa sate, sejumlah lima puluh lima. Jumlah ini muncul sesuai dengan urip dari masing-masing arah sebagaimana disebutkan dalam ilmu wariga. Urip arah Timur adalah lima, sehingga Angsa yang diletakkan di Timur diolah menjadi limapuluh lima. Rumus ini juga berlaku untuk arah lainnya, dengan binatang yang berbeda. Winangun urip salah satu istilah penting dalam ritual caru darah dan daging. Ada banyak cerita dalam susastra tentang orang-orang yang telah mati lalu dihidupkan lagi. Cara menghidupkannya adalah melalui ritual ambayu-bayuan. Di Bali, kita mengenal mabayuh. Bayu memang berarti tenaga, hidup. Orang mati yang dihidupkan untuk dibunuh lagi sebagai persembahan, dapat kita temukan dalam sumber teks Calon Arang. Satu lagi teks bernuansa Buddhis-Tantris. Bagaimana penjelasan selanjutnya, silahkan simak sesuluh Yudha Triguna melalui Yudha Triguna Channel pada Youtube, juga pada Dharma wacana agama Hindu. Untuk mendapatkan video-video terbaru silahkan Subscribe https://www.youtube.com/channel/UCB5R Facebook: www.facebook.com/yudhatriguna Instagram:   / yudhatrigunachannel   Website: https://www.yudhatriguna.com

Comments